Kamis, 18 Februari 2010

Pencemaran Senyawa Organoklorin Jenis PCBs dan DDT di Laut

BAB I
PENDAHULUAN

Laut mempunyai kekayaan alam yang sangat beranekaragam, selain kandungan hayati lautnya, laut juga memiliki kekayaan bahan non organik seperti mineral-mineral, minyak bumi dan bahan-bahan tambang lainnya. Bahan-bahan tersebut terbentuk melalui proses geologi, fisika, kimia dan biologi yang tidak hanya terjadi di lautan, tetapi juga melibatkan daratan. Misalnya material letusan gunung berapi yang terjatuh sampai di laut, atau kikisan material dari darat yang terbawa oleh air sungai. Dengan demikian, mineral-mineral di lautan memiliki distribusi yang luas.
Terjadinya pencemaran di laut tidak lepas dari masuknya mineral – mineral yang terbawa melaluai run off atau aliran sungai yang membawa berbagai macam ligam berat. Ancaman juga datang dari pencemaran limbah industri, terutama logam dan senyawa organoklorin. Dua jenis bahan berbahaya ini mengakibatkan terjadinya akumulasi (penumpukan kandungan) logam berat padang melalui proses yang disebut magnifikasi biologis. Persis seperti penumpukan kandungan merkuri yang menimpa kerang.
Pestisida organoklorin telah menyebabkan masalah yang serius karena kestabilan kimianya yang tinggi. Sebagian organoklorin sukar diuraikan, lantas mengakibatkan masalah pencemaran dan penumpukan dalam sistem akuatik, rantai makanan dan manusia.











BAB II
ISI

2.1. Definisi pencemaran laut
Belakangan kita sering membaca kejadian pencemaran laut. Berbagai pihak mengeluhkan salah satu ancaman terhadap lingkungan ini. Beberapa menyalahkan industri besar yang kurang peduli, lainnya menyebutkan hanya kesalahan prosedur, lainnya beranggapan semua punya potensi untuk mencemari laut. Berikut lebih jauh dibahas tentang seluk beluk pencemaran laut.
Pencemaran laut didefinisikan sebagai peristiwa masuknya partikel kimia, limbah industri, pertanian dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme invasif (asing) ke dalam laut, yang berpotensi memberi efek berbahaya. Kemudian ada definisi pencemaran yaitu, Pencemaran atau polusi didefenisikan sebagai masuknya zat-zat atau energi ke dalam lingkungan laut baik langsung maupun tidak langsung akibat adanya kegiatan manusia. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, terutama kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, jalur pelayaran, dan sebagainya), dan secara visual mereduksi keindahan laut (GESAMP dalam Sanusi, 1995).
Pencemaran juga dapat terjadi secara alamiah, seperti letusan gunung berapi, adanya peledakan populasi suatu jenis plankton beracun akibat terjadinya pengkayaan perairan oleh melimpahnya nutrie (eutrofikasi atau dikenal dengan pencemaran secara biologis).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999).
Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya (Siahaan, 1989a).
Dalam sebuah kasus pencemaran, banyak bahan kimia yang berbahaya berbentuk partikel kecil yang kemudian diambil oleh plankton dan binatang dasar, yang sebagian besar adalah pengurai ataupun filter feeder(menyaring air). Dengan cara ini, racun yang terkonsentrasi dalam laut masuk ke dalam rantai makanan, semakin panjang rantai yang terkontaminasi, kemungkinan semakin besar pula kadar racun yang tersimpan. Pada banyak kasus lainnya, banyak dari partikel kimiawi ini bereaksi dengan oksigen, menyebabkan perairan menjadi anoxic.
Salah satu sumber bahan pencemaran laut adalah dari sisa bahan peptisida Limbah pertanian dapat berasal dari limbah hewan, pupuk, maupun pestisida. Pemakaian pupuk dan pestisida yang berlebihan dapat mencemari air laut. Limbah pupuk mengandung fosfat yang dapat merangsang pertumbuhan gulma air seperti ganggang atau alga. Pertumbuhan gulma air yang tidak terkendali dapat menimbulkan dampak seperti yang diakibatkan pencemaran oleh deterjen. Limbah pestisida mempunyai aktifitas dalam jangka waktu yang lama dan ketika terbawa aliran air keluar dari daerah pertanian, dapat mematikan hewan yang bukan sasaran seperti ikan, udang dan hewan air lainnya. Pestisida mempunyai sifat relatif tidak larut dalam air, tetapi mudah larut dan cenderung konsentrasinya meningkat dalam lemak dan sel-sel tubuh mahluk, ini dinamakan Biological Amplification sehingga apabila masuk dalam rantai makanan konsentrasinya makin tinggi dan yang tertinggi adalah pada konsumen puncak. Contohnya ketika di dalam tubuh ikan kadarnya 6 ppm, di dalam tubuh burung pemakan ikan kadarnya naik menjadi 100 ppm dan akan meningkat terus sampai konsumen puncak.
2.2. Pencemaran organoklorin di laut
2.2.1. Sekilas tentang organoklorin
Pestisida Organoklorin atau biasa disebut juga sebagai hidrokarbon berklorin, merupakan jenis pestisida yang tidak mudah larut dalam air, namun mudah larut dalam minyak. Pestisida organoklorin merupakan jenis pestisida yang tidak mudah terurai di alam setelah digunakan, penggunaan pestisida organoklorin telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1971 karena sifatnya yang persisten sehingga akan dapat menimbulkan dampak negative yang besar tehadap lingkungan dan mahluk hidup sekitarnya.
Contoh pestisida organoklorin yang sering digunakan dalam kehidupan;
• Aldrin
• Dieldrin dicofol
• Endosulfan
• Endrin chlordane
• DDT
• Heptaklor
• Lindane
• Benzane hexacloride (BHC)
Contoh di atas dapat digolongkan sebagai senyawa aktif yang terkandung pada jenis-jenis pestisida organoklorin dengan toksisitas yang berbeda. Sedangkan sifat umumnya adalah kelarutan rendah dalam air, lipofilitas tinggi, persisten dalam lingkungan alamiah, terbioakumulasi dalam makhluk hidup dan terbiomagnifikasi melalui rantai makanan.
Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. sangat toksik
aldrin, endosulfan, dieldrin
2. toksik sederhana
Clordane, DDT,lindane, heptaklor
3. kurang toksik
Benzane hexacloride (BHC)
2.2.2. Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis PCBs
Polikhorobiphenil (PCB) adalah suatu senyawa suatu senyawa organoklorin yang mempunyai sifat racun yang sama dengan peptisida dan mempunyai sifat yang persisten atau sukar di pecah dialam di alam. Seperti halnya peptisida dan PCB , poliaromatik hidrokarbon merupakan polusi yang dapat memberikan efek yang negative terhadap suatu perairan dengan kata lain akan mempengaruhi kualitas air suatu perairan. Ciri-ciri PCBs sebagai berikut; dapat berbentuk cairan atau padat, tidak berwarna dan kuning muda. Disamping itu PCBs mudah menguap dan mungkin hadir sebagai uap air di udara dan tidak diketahui bau maupun rasanya. PCBs yang masuk ke lingkungan adalah dalam bentuk gabungan komponen individu chlorinated biphenyl, yang dikenal sebagai congener-congener artinya sama dengan tidak murni.
Telah terbukti bahwa diantara spesies-spesies uji, organisme-organisme airlah yang menunjukkan kapasitasnya di dalam mengakumulasi bahan polutan organic. Menyadari pentingnya air sebagai media pembawa utama bahan-bahan kimia, maka OEDC kelompok expert untuk degradation dan accumulation mengrekomendasikan penggunaan ikan sebagai representative dari spesies hewan uji bioconcentration (Geyer et al.,1985). Jika ikan mengakumulasi bahan kimia hanya melalui/lewat air, proses ini disebut bioconcentration, akan tetapi jika ikan mengambil bahan kimia baik dari air maupun makanan maka proses ini disebut bioaccumulation. PCBs akan masuk ke dalam tubuh organisma kecil serta ikan di perairan. Organisma tersebut juga akan dimakan oleh hewan-hewan lain yang makanannya adalah hewan-hewan air. PCBs biasanya terakumulasi dalam ikan dan mamalia laut ( lumba-lumba dan paus) yang dapat mencapai level yang mungkin 1000 kali tingginya dibandingkan di perairan sendiri. Level PCBs yang tertinggi pada hewan meningkat menurut rantai makanannya. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Seperti sudah dijelaskan bahwa, untuk mengevaluasi potensial karakter PCBs di lingkungan serta senyawa-senyawa lainnya, yaitu dengan menggunakan karakteristik physicochemicalnya. Oleh karena kapasitas suatu bahan kimia untuk bioakumulasi secara umum tergantung pada besarnya konsekwensinya di lingkungan. Senyawa organochlorine seperti PCB, DDT dan BHC, merupakan bahan-bahan kimia yang lipophilic, sangat terkenal terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan darat maupun air.
2.2.3. Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis DDT
DDT (1,1,1- Tricloro-2,2-bis(clhorophenil)etane) merupakan insektisida sintetis khususnya dibidang pertanian. Sifatnya yang sangat berbahaya di lingkungan dan tahan lama di alam, maka senyawa ini di larang penggunaaannya. Tetapi penggunaannya masih terbatas hanya sebagai obat untuk nyamuk malaria diberbagai negara. DDT dapat mencapai ekosistem pesisir laut melalai berbagai rute seperti penggunaan secara langsung di permukaan air, kemudian secara tidak langsung melalui proses deposisi udara dari proses penguapan atau penguapan yang sudah mengendap di tanah, tanaman dan permukaan air, (Preston 1989). Disamping itu sifat - sifat fisika dan kimia seperti daya larut yang rendah dalam air menyebabkan senyawa DDT mudah terikat dalam sedimen dasar dan terakumulasi dalam jaringan organisme.
Transportasi materi merupakan faktor penting keberadaan DDT di lingkungan laut dan hampir sebagian besar terdeposisi dan menghasilkan variabilitas konsentrasi DDT dan derivativennya di sediment, (Ouyang et al 2003;Hartwell, 2008). berbagai sirkulasi air seperti aliran sungai dan arus pasang surut dapat mempengaruhi sebaran deposit yang dapat ditujukan oleh berbagai variasi komposisi ukuran sediment. Hal ini di sebabkan oleh fraksi halus sedimen umumnya memiliki residen time yang relatif lama di bandingkan dengan fraksi kasar seperti pasir. Dengan demikian fraksi halus merupakan komponen yang sangat penting dalam deposit DDT di perairan laut.
Teluk Jakarta merupakan teluk yang mengalir sebanyak 13 muara sungai dari wilayah urban yang sangat padat dan banyak terdapat aktivitas pertanian pada wilayah hulu. Dari hasil penelitian DDT, DDD, dan DDE telah teridentifikasi di berbagai wilayah di teluk Jakarta (Razak, 1991). Hal ini memberikan sesuatu indikasi bahwa residu DDT masih ada yang mungkin pernah dimanfaatkan. Keberadaan DDT sangat umum di temukan di lingkungan perairan termasuk sedimen. Seperti keberadaan DDT dan DDE di sedimen pesisir muara Citarum jelas mengidentifikasikan perubahan DDT pada masa diagenesa awal. Secara keseluruhan informasi diatas memberikan indikasi bahwa konsentrasi DDE lebih tinggi dari pada DDD yang berarti perubahan cenderung dalam kondisi aerobik.

2.3. Penanggulangan senyawa – senyawa organoklorin
Pemanfaatan limbah padat hasil olahan rumput laut dapat juga diarahkan guna pengendalian pencemaran dengan memanfaatakannya sebagai salah satu komponen pendukung bioremediasi lingkungan terutama untuk lahan pertanian yang terkontaminasi pestisida. Tentunya, selain limbah hasil olahan rumput laut dari spesies-spesies ekonomis, guna kepentingan bioremediasi jenis rumput laut lain dari jenis jenis yang kurang termanfaatkan dan kurang bernilai ekonomis seperti Calothria, Macrosystis, Oscillatoria dll dapat dijadikan bahan tersebut.
2.3.1. Bioremediasi lingkungan tercemar pestisida
Dalam pengelolaannya, ketika pencemaran pestisida sudah terlanjur terjadi, alternatif pengolahan tanah terkontaminasi pestisida dapat dilakukan dengan pendekatan biologis (bioremediasi). Secara teknis perkembangan bioremediasi pestisida juga terkendala dengan kurang efektifnya agent biologis mendegradasi pestisida sebagai akibat dari ketersediaan biologis (bioavaibility) pestisida didalam tanah terbatas sehingga membatasi keberhasilan mikroba melakukan kontak dan mengurai pestisida target. Guna memperbaiki performa bioremediasi pestisida, keberhasilan proses yang berlangsung dapat tergantung pada (1). ketersediaan mikroorganisme agen bioremediasi, (2). kondisi optimal bagi pertumbuhan dan aktifitas agen mikroba.dan (3) Peningkatan bioavaibilitas pestisida di tanah.
2.3.2. Mikroorganisme agent
Jenis jenis mikroorganisme lain yang sudah banyak diidentifikasi sebagai agent bioremediasi pestisida adalah Phanerochaete, Nocardia, Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, dan Burkholderia. Dalam riset riset bioremediasi pestisida Phanerochaete chrysosporium dikenal mampu mendegradasi ragam pestisida seperti DDT, DDE, PCB, Chlordane, Lindane, Aldrine, Dieldrine dan lain sebagainya. Kendatipun tidak selalu ditemui disetiap jenis tanah dan tempat (kayu atau pohon yang lembab), keberadaannya Phanerochaete chrysosporium telah banyak dilaporkan oleh peneliti mikrobiologi Indonesia.
2.3.3. Peningkatan ketersediaan biologis pestisida di tanah.
Peran rumput laut dan/atau limbah hasil olahan rumput laut dalam kajian bioremediasi pestisida adalah sebagai penyumbang ion Na+ yang ditenggarai dapat meningkatkan dispersi tanah, kedua adanya senyawa senyawa organik terlarut pada rumput laut dapat meningkatkan kelarutan dari pestisida sehingga lebih dapat terakses oleh agent mikroba dan terakhir adanya kandungan asam alginit dan manitol yang dapat berperan sebagai agen pengikat (chelating) serta penggembur tanah. Penambahan rumput laut ataupun limbah rumput laut dalam proses bioremediasi tanah terkontaminasi pestisida dapat merubah sifat dari tanah. Rumput Laut dapat membantu penurunan konsentrasi pestisida (e.g. DDT) melalui mekanisme pelepasan ion ion anorganik seperti Na+, Ca+, Mg+, dan K+ dan material organik terlarut yang keluar dari ekstrak rumput laut (Kantachote et al., 2004).
Pestisida biasanya terikat dengan ikatan ikatan kimia dengan senyawa humus (humic substances) terlarut sehingga bioavaibilitasnya menjadi rendah. Lebih lanjut, peningkatan kation (ion ion bermuatan positif, +) anorganik dapat menyebabkan peningkatan ikatan ion ion pada tanah yang menyebabkan cross-linking material material humus dengan pestisida tergantikan oleh kation kation tadi setelah didahului dengan kondensasi humus. Hal tersebut dapat meningkatkan ketersediaan DDT secara biologis dalam tanah untuk dapat termanfaatkan atau paling tidak terlibatkan didalam suatu reaksi dimana agen biologis mikroorganisme aktif.
Rumpu laut, terutama Alga Hijau memiliki kandungan karbohidrat dan manitol yang tinggi (chelating agents) yang akan dapat terikat dengan ion-ion anorganik pada tanah. Pengkelatan ini akan menggangu interaksi organo-mineral didalam tanah terkontaminasi. Peningkatan degradasi pestisida dapat terjadi secara aerobik (adanya oksigen) dan anerobik (tidak adanya oksigen). Rumput laut kaya akan karbohidrat yang dapat menguntungkan pertumbuhan bakteri anaerobik untuk dapat melangsungkan reaksi dechlorinasi guna menghilangkan unsur klor pada pestisida. Rumput laut juga memiliki kandungan vitamin B12 yang dapat mendukung deklorinasi tersebut secara anaerobik.
























BAB III
KESIMPULAN

Dari banyaknya uraian diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa keberadaan bahan pencemar organoklorin di laut sangat berbahaya bagi biota yang ada disekitarnya. Dimana senyawa – senyawa tadi dapat terakumulasi di dalam tubuh biota yang kemudian biota tersebut mengandung senyawa tersebut. Ini akan mempunyai pengaruh terhadap rantai makan di laut , dimana organisme tingkat tinggi yang notabene sebagai pemangsa tingkat tinggi mempunyai potensi lebih besar keracunan bahan pencemar organoklorin . Ini terjadi karena organisme tingkat tinggi tersebut banyak memakan organisme kecil seperti plankton, ikan kecil, molluska dll yang sudah mengandung bahan pencemar. Kejadian ini secara tidak langsung berdampak negatif terhadap manusia karena manusia sendiri merupakan predator tingkat tinggi yang memakan biota laut.
















DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rachmat Benny, 1999, Kebijaksanaan, Strategi, dan Program Pengendalian Pencemaran dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Pramudianto, Bambang, 1999, Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Preston, M.R. 1989. Marine pollution.In Chemical Oceanogrphy Vol9 J.P.Riley(ed) 53-196, Academic Press.
Razak, H. 1991. Penelitian pendahuluan senyawa organoklorin pada kerang hijau (Mytilus viridis) di perairan teluk Jakarta. Hal 232-238. in Biologi menunjang ketahanan bangsa melalui perbaikan mutu pangan, kesehatan lingkungan. Prosiding seminar ilmiah dan kongres Nasional Biologi X,24-26 september 199, Bogor Indonesia.
Siahaan, N.H.T, 1989a, Pencemaran Laut dan kerugian yang Ditimbulkan (I), dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 8 Juni 1989.
Ouyang, Y.,P. Nkedi-Kizza, R.S. Mansell and J.Y. Ren.2003. Organic Compounds in the environment:Spatial Distribution of DDT in Sediments from Estuarine Rivers of Central Florida J.Environ. Qual.32:1710-1716.